Senin, 28 Oktober 2013

Tiga Bulan Setelah Gue Pergi (a CreepyPasta-styled short story)

Nama gue Ethan. Gue seorang keturunan Amerika-Indonesia. Currently living in Indonesia. Orang tua gue bekerja di komisi anak lokal, di tempat gue berasal. Gue pindah karena tuntutan pekerjaan orang tua gue yang merupakan bagian dari komisi anak internasional.

Di tempat gue dulu, USA, gue punya temen, namanya Nathanael, biasa dipanggil Nael. Kita udah berteman sejak kecil. Mulai dari TK sampai SMP. Sayangnya, SMA gue harus pindah ke Indonesia. Sebelum berangkat, gue janji bakal keep in touch lewat e-mail. Dua bulan pertama, gue sama dia udah berbagi macem-macem pengalaman. Namun memasuki bulan ketiga, dia gak pernah bales e-mail gue lagi. Gue sering nyoba hubungin dia via Facebook, Twitter, bahkan Skype. No response. At all. Akhirnya gue coba nelpon. Meskipun nelpon ke luar negeri mahal, tapi ini demi sahabat gue. Setelah beberapa kali nelpon, akhirnya ada yang ngangkat. Itu suara Nael.

“Halo.” Kata Nael.

“Eh, Nael! Gimana kabar lo? Kenapa gak pernah bales e-mail gue sih?”

“Maaf bro, gue lagi sibuk di sini. Kalo ada waktu luang gue bales deh e-mail lo. Maaf ya, gue harus pergi dulu.” Lalu dia menutup teleponnya.

Gue bingung. Ah sudahlah. Palingan dia banyak kerjaan sekolah. Namanya juga baru masuk SMA. Beberapa minggu kemudian, gue dapet e-mail. Dari Nael.

From: Nathanael****@*****.com
Subject: Sorry
Hei Ethan. Maaf nih udah lama gak bales e-mail. Banyak tugas. Sekarang gue tinggal sendiri. Orang tua gue lagi pergi. How r u? Pls rply.

Gue bales lah. Gue bilang kalo di sini juga seru. Anak Indonesia ternyata asik, seperti di USA sana. Semacam itu lah. Setelah ngomong panjang lebar, akhirnya gue send e-mail gue.

Dari sini hal mulai terasa ganjil.

Nael gak pernah bales e-mail gue lagi. Sebulan penuh dia nggak pernah bales e-mail gue. Akhirnya gue mencoba untuk nelpon, lagi. Telpon gue diangkat.

“Halo. Maaf bro, gue lagi sibuk di sini. Kalo ada waktu luang gue bales deh e-mail lo. Maaf ya, gue harus pergi dulu.”

Gue diem. Gue belum ngomong apa-apa. Gimana dia tau kalo gue mau ngomongin e-mail. Ah, mungkin dia sadar kalo dia belom bales e-mail gue. Fine lah.

Beberapa minggu gue tunggu. Gak ada e-mail masuk. Gue mulai heran sama dia. Dia sahabat gue. Dia gak pernah lalai akan apapun. Kok bisa dia lupa sama sahabatnya selama ini? Selama ini, satu-satunya temen Nael adalah gue, cuma gue. Dia gak pandai bergaul. Dia pemalu, sangat pemalu. Dia sering jadi bahan tertawaan lingkungan kami karena hal-hal yang diperbuatnya. Tidak ada yang mengerti social-awkwardness-nya selain gue, keluarga gue, dan keluarganya. Karena itu kami sangat dekat.

Setiap awal bulan, gue mencoba menelpon Nael. Jawabannya selalu sama: lagi sibuk, dan kalo ada waktu bakal bales e-mail gue. Semakin lama, kata-katanya semakin pendek. Yang awalnya “Halo. Maaf bro, gue lagi sibuk di sini. Kalo ada waktu luang gue bales deh e-mail lo. Maaf ya, gue harus pergi dulu.”, menjadi “Maaf gue lagi sibuk disini. Gue bales e-mail lo kalo ada waktu. Maaf, pergi dulu.” Dua bulan kemudian, saat ulangan semester, gue dapet e-mail dari Nael.

From: Nathanael****@*****.com
Subject: I’m bored.
Ethan, kamu bisa kesini kapan? Gue bosen nih, orang tua gue gak pernah ngurusin gue lagi. Kalo ada waktu kesini dong. Main bareng lagi.

Ke sana? Ke USA? Memang, itu bukanlah hal yang sulit. Tapi, Nael minta gue ke USA? Gue pengen banget minta penjelasan tentang hal ini. Tapi ada lebih dari satu hal yang harus dijelaskan Nael. Jadi gue putusin untuk pergi ke USA saat liburan. Lagipula gue bisa minta penjelasan dari dia di sana.

Liburan tiba. Tiket terbeli. Izin dari orang tua udah didapat. Sesaat sebelum boarding, gue ngirim sms ke Nael, berkata kalau gue bakal ke USA hari ini. No response, padahal udah sent. Gue telpon dia, dia angkat telponnya dan berkata “Maaf gue lagi sibuk disini. Gue bales e-mail lo kalo ada waktu. Maaf, pergi dulu.” Apa-apaan? Jika dia mampu jawab telpon gue, berarti dia bisa baca sms gue. Gue bilang di sms kalo gue mau ke USA. Tapi di telpon dia ngomong tentang e-mail. Gue mulai merasakan aura keanehan, seperti yang gue dapet beberapa bulan lalu waktu Nael gak bales e-mail gue.

Pesawat gue akhirnya berangkat. Keesokan harinya gue arrived di USA. Gue naik taxi menuju tempat gue tinggal dulu. Begitu sampe di sana, suasananya sepi. Gue jalan di sepanjang trotoar jalan. Beberapa rumah dikasih tanda “For Sale”. Sesekali mobil kecil lalu lalang. Orang di dalamnya tampak asing bagi gue. Orang baru mungkin. Gue jalan menuju rumah gue. Masih sama, dengan tanda “For Sale” masih tertancap di halaman. Gak ada yang beli rumah gue, padahal dulu rumah gue jadi salah satu rumah paling diincer di sini. Semua orang tampak menunggu keluarga gue pindah. Tapi sekarang, gak ada yang beli.

Beberapa rumah setelah rumah gue, terletak rumah Nael. Masih terawat seperti dulu. Memang ayah Nael adalah seorang yang cinta kerapihan, dan ibunya suka berkebun. Tidak heran rumah mereka selalu rapi. Gue mengetuk pintunya. Beberapa orang yang lewat mandangin gue. Gue ketuk lagi pintunya, gak ada jawaban. Gue berjalan ke arah belakang rumah, tempat gue sering main sama dia. Kosong. Dan beberapa barangnya hilang. Gue inget banget ada tiga patung flamingo pink norak terletak di sudut halaman. Tapi sekarang tinggal satu, dan kepalanya hampir patah. Catnya luntur, sehingga wajahnya terlihat seperti memelas mohon ampun. Payung yang terletak di meja piknik sudah robek. Dan meja pikniknya, Cuma tersisa setengah. Entah siapa yang menggergajinya menjadi dua. Gue jalan menuju pintu belakang, terkunci. Bingung, gue jalan ke trotoar dan ketemu sama seseorang.

“Maaf, mau tanya. Ibu kenal dengan orang yang tinggal di rumah ini?”

“Maaf nak, tapi saya orang baru di sini. Saya hanya pernah melihatnya sekali. Seorang anak laki-laki, kira-kira seumuranmu. Kenapa?”

“Eh, saya temannya. Saya baru datang dari luar negeri mau berkunjung.”

Tiba-tiba seorang bapak tua lewat. Pak Chuck. Gue kenal dia. Gue mohon diri sama ibu-ibu itu dan mulai mengejar pak Chuck. Ketika gue muncul di hadapannya, dia terlihat kaget.

“Ethan? Kamu di sini?” tanyanya.

“iya pak. Bapak tau Nael kemana?”

“Nael? Kamu belum tahu beritanya?”

“Berita apa?” sumpah, gue gak tau berita apa-apa soal Nael.

“Jadi gini. Beberapa hari setelah kamu pergi, Nael jadi lebih sering di-bully oleh anak-anak lain. Kamu adalah satu-satunya pelindungnya dari anak-anak itu. Dan setelah kamu hilang, mereka jadi lebih leluasa mengerjai Nael.”

Pada titik ini, gue bingung. Apa maksud dari beritanya?

“Suatu hari, anak-anak itu mengerjai Nael dengan cara menyembunyikan kucingnya. Nael menangis sangat keras. Aku mengerti, kucing itu adalah satu-satunya temannya yang tersisa. Orang tuanya, bukannya menenangkannya, malah membentaknya. Orang tuanya malah menganggap Nael berlebihan soal kucingnya.”

“Tapi biasanya orang tua Nael bersikap baik.”

“Hanya di depanmu. Karena orang tuamu adalah pimpinan dari komisi anak lokal, dan mereka tahu jika kau melihat Nael disiksa oleh mereka, kau akan melapor kepada orang tuamu dan mereka bisa dipenjara. Beberapa hari kemudian, terdengar berita bahwa Nael mengadakan pesta di rumahnya. Suatu hal yang jarang. Namun semua orang menganggap bahwa Nael hanya ingin mendapatkan teman baru dengan cara menggelar pesta. Ia mengundang semua anak-anak yang pernah mengerjainya.”

Bagian ini terdengar aneh. Ini bukanlah Nael yang gue kenal.

“Pada tengah malam, terdengar jeritan dari rumah Nael. Kami mengira itu hanya salah satu dari permainan mereka. Namun ada satu anak yang berlari menuju rumah salahsatu orang tua dan berkata, ‘Nael memotong kepala Richard dan melemparkannya ke arah anak lainnya’. Kami masih mengira itu hanyalah lelucon belaka dan membiarkannya. Keesokan harinya, dari rumah Nael tercium bau yang sangat tidak enak. Ketika kami mengeceknya, kami melihat pemandangan yang mengerikan. Potongan anggota tubuh tersebar di mana-mana. Kami mengelilingi rumah, mecoba mencari Nael. Tapi ia tidak ada. Kami mencoba menemui anak yang semalam berkata bahwa Nael memotong kepala Richard, namun anak tersebut sudah ditemukan mati di taman kota.”

Gue nggak percaya apa yang baru aja gue denger. Nael, membunuh orang? Nggak mungkin. Itu bukan Nael. Itu bukan Nael yang selama ini gue kenal.

“Terus, orang tuanya gimana pak?”

“Orang tuanya ditemukan mati beberapa hari setelahnya di apartemen mereka. Jasad ayah Nael dibakar menggunakan kayu yang diduga berasal dari meja piknik di halaman belakang. Dan jasad ibunya digantung menggunakan flamingo plastic yang diikat dengan tali tambang di langit-langit.”

Gue udah nggak bisa berkata-kata lagi. Kata-kata yang muncul dari mulut gue Cuma:

“Bagaimana dengan Nael?”

“Nael ditemukan mati dengan leher putus di gubuk kecil di pinggiran kota. Tidak ada benda tajam yang ditemukan di dekatnya. Di tubuhnya tidak menampakkan tanda-tanda paksaan. Jadi tidak mungkin dia dibunuh. Dia ditemukan terbaring di atas sesuatu, semacam serbuk kayu yang dicampur dengan pasir. Ketika dibersihkan, ditemukan sebuah tulisan yang sepertinya dibuat dengan cakaran kuku, bertuliskan: ‘Maaf sedang sibuk. Akan kubalas e-mailmu nanti.’ Entah apa maksudnya.”

Kalimat itu adalah kalimat yang selalu dia ucapkan saat gue telpon. Tiba-tiba tulang punggung gue terasa tergelitik, dan otak gue membentuk suatu pertanyaan.

“Kapan semua ini terjadi? Kapan Nael ditemukan mati?”

Jawaban pak Chuck bikin gue hampir pingsan. Gue cepet-cepet pergi ke bandara dan menunjukkan tiket pulang-pergi Indonesia-USA. Setengah jam kemudian pesawat berangkat. Selama penerbangan, hanya satu kalimat yang terngiang di kepala gue. Sebuah pernyataan yang bikin gue mempertanyakan kewarasan diri gue sendiri. Membuat gue bertanya-tanya, siapa yang menjawab telpon gue selama ini. Membuat pertanyaan baru, siapakah Nael yang gue kenal selama ini. Siapa dia sebenarnya? Jawaban pak Chuck yang hampir bikin gue mati berdiri.

“Nael ditemukan mati tiga bulan setelah kau pergi.”

3 komentar:

Yes. Any comments are acceptable. Except ads. No ads. NO FUCKIN ADS.